MACAM –
MACAM PERJANJIAN
Macam-macam perjanjian obligator
ialah sebagai berikut:
1.
Perjanjian dengan cuma-Cuma dan
perjanjian dengan beban :
a. Perjanjian
dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu
keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
(Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
b.
Perjanjian
dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu
keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya
sendiri.
2. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.
a.
Perjanjian
sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu
pihak saja.
b.
Perjanjian
timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua
belah pihak.
3.
Perjanjian konsensuil, formal dan
riil.
a.
Perjanjian
konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua
belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
b.
Perjanjian
formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk tertentu,
yaitu dengan cara tertulis.
c.
Perjanjian
riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus
diserahkan.
4.
Perjanjian bernama, tidak bernama,
dan campuran.
a.
Perjanjian
bernama ialah suatu perjanjian dimana UU telah mengaturnya dengan
ketentuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHerdata ditambah
titel VIIA.
b.
Perjanjian
tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
c.
Perjanjian
campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit di
kualifikasikan.
SYARAT
SAHNYA PERJANJIAN
Untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata:
1.
Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya
2.
Kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian
3.
Suatu hal
tertentu
4.
Suatu sebab
yang halal
Dua syarat yang pertama dinamakan
syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang
mengadakan perjanjian, sedanngkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat
obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyeknya dari perbuatan
hukum yang dilakukan.
Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian:
1.
Orang-orang
yang belum dewasa
2.
Mereka yang
ditaruh di bawah pengampunan
3.
Orang-orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan pada umumnya
semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian,
memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata).
SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN
Menurut azas
konsensualitas, suatu pejanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau
persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang
menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak
antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah
juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi
secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Karena suatu
perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir
pada detik diterimanya penawaran (offerte). Menurut ajaran yang lazim dianut
sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang
melakukan penawaran menerima jawaban yang termaksud dalam surat tersebut, sebab
saat itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya sepakat. Karena perjanjian
sudah dilahirkan maka tak daapat lagi ia ditarik kembali jika tidak seizin
pihak lawan.
PEMBATALAN DAN PELAKSANAAN SUATU
PERJANJIAN
Pembatalaan Suatu Perjanjian
Apabila dalam suatu syarat
obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and
void). Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu
perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud
membuat perjanjian itu.
Apabila pada waktu pembuatan
perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyktif, maka perjanjian itu
bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalannya oleh salah
satu pihak. Pihak ini adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta
orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah cakap), dan pihak
yang memberikan perjanjian atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Dalam hukum perjanjian ada tiga
sebab yang membuat perjanjian tidak bebas, yaitu:
1.
Paksaan adalah
pemaksaan rohani atau jiwa, jadi bukan paksaan badan atau fisik. Misalnya salah
satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu
perjanjian.
2.
Kekhilafan
atau Kekeliruan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang
hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang
penting dari barang yang menjadi obyek dari perjanjian, ataupun mengenai orang
dengan siapa diadakan perjanjian itu.
3.
Penipuan terjadi
apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu
atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik, untuk membujuk pihak
lawannya memberikan perjanjiaannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara
aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan
diganti dulu merknya, nomor mesinnya dipalsu dan lain sebagainya.
Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain, atau di mana orang saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik macam-macamnya hal yang
dijanjikan untuk dilaksanakan itu, perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga
macam yaitu:
1.
Perjanjian
untuk memberikan menyerahkan barang
2.
Perjanjian
untuk bebuat sesuatu
3.
Perjanjian
untuk tidak berbuat sesuatu
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
memberikan sekedar petunjuk, ialah persoalan apakah suatu perjanjian mungkin
dieksekusi (dilaksanakan) secara riil. Petunjuk itu kita dapatkan dalam
pasal-pasal 1240-1241.
Dalam hal penafsiran perjanjian ini
pedoman utama ialah: kata-kata suatu perjanjian jelas, maka tidaklah
diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.
Pedoman-pedoman lain yang penting
dalam menafsirkan suatu perjanjian adalah:
1.
Jika
kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka
harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian
itu dari pada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf.
2.
Jika sesuatu
janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya pengertian
yang sedemikian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan daripada memberikan
pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan.
3.
Jika
kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian
yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
4.
Apa yang
meragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan di negeri atau
di tempat di mana perjanjian telah diadakan.
5.
Semua janji
harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji harus ditafsirkan
dalam rangka perjanjian seluruhnya.
6.
Jika ada
keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang
elah meminta diperjanjikannya sesuatu hal dan, untuk keuntungan orang yang
telah mengikatkan dirinya untuk itu.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar