MENIMBANG SEJARAH DALAM EKONOMI INDONESIA
“Perekonomian suatu negeri pada umumnya ditentukan oleh tiga hal. Pertama,kekayaan tanahnya. Kedua, kedudukannya terhadap negeri lain dalam lingkungtan Internasional. Ketiga, sifat dan kecakapan rakyatnya, serta cita-citanya. Terhadap Indonesia harus ditambah satu hal lagi, yaitu senarahnya sebagi tanah jajahan”. (Hatta, 1971)
Demikianlah sedikit penggalan pernyataan Bung Hatta dalam salah satu Konferensi Ekonomi di Yogyakarta 1946. Kurang lebih 3,5 abad bangsa Indonesia dalam masa penjajahan dari mulai bangsa Portugis, Belanda ataupun Jepang. Sejarah penjajahan banyak memberikan pengaruh yang fundamental dalam tatanan struktur sosial, ekonomi, budaya dan politik. Eropa Barat sebagai tempat beberapa negara pennjajah Indonesia, adalah basis lahirnya pemikiran-pemikiran ekonomi, sehingga cukup berpengaruh dalam perkembangan kondisi ekonomi di negara-negara jajahan. Pemikiran Liberalisme Klasik banyak menjadi acuan dasar hubungan ekonomi negara penjajah dengan negara jajahan. Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nation, 1776 berhasil memperkukuh filsafat individualistik dalam pemikiran ekonomi, yang sebenarnya sudah berkembang sejak jaman Merkantilis. Teori pembagian kerjanya atau spesialisasi, dianggap sebagai salah satu kunci pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus.. Pembagia kerja harus didukung oleh pasaran barang produksi, manifestasinya dengan melakukan perluasan teritori. Perluasan wilayah untuk memperoleh perluasan pasar bagi barang-barang yang di produksi harus dilaksanakan kalau perlu dengan bantuan pemerintah (Samuels, 1966). David Ricardo yang juga salah satu pemikir liberalisme klasik dengan teori Manfaat Komparatif dijadikan dasar bagi perdagangan luar negeri. Munculnya Etika Protestan pada abad pertengahan bersamaan dengan pencetusan liberalisme klasik menjadi semacam legitimasi bagi filsafat individualistik yang dikemukakan Adam Smith. Minimalisasi kekuasaan gereja dan pemerinyah oleh golongan kapitalis terlihat sangat kuat (Weber, 1958; Towney, 1960; Hill, 1966 ).
Di Indonesia, salah satu negara Eropa Barat yang paling kuat melakukan membangaun fundamental ekonomi yang kapitalistik atau eksploitatif adalah Belanda. Pada tahun 1600- 1800 penguasaan dilakukan melalui Persatuan Pedagang Belanda (VOC) yang menerapkan pola monopoli dalam membeli komoditas perdagangan nasional seperti lada, pala, cengkeh, kopi, dan gula. Setelah VOC bangkrut (bubar) tahun 1799, dikarenakan pemerintahan Belanda telah di duduki oleh Jerman, untuk sementara pemerintahan di Hindia Belanda di ambil alih oleh Inggris selama 1811-1816. Letnan Gubernur Thomas R. Raffles mempekenalkan sistem sewa tanah untuk mengefisienkan tanah jajahan. Tahun 1830 Hindia Belanda sudah kembali di kuasai oleh Belanda, kebijakan ekonomi yang kemudian di gunakan adalah Sistem Tanam Paksa, yang bertujuan mengisi kekosongan kas atau defisit anggaran pemerintah Belanda yang diakibatkan oleh kekalahannya dalam perang yang berkepanjangan. Sistem ini adalah manifestasi dari spesialisasi paksaan yang didasarkan analisa keuntungan komparatif David Ricardo yang kemudian diterapkan oleh negara penjajah terhadap setiap koloninya (Sritua Arief dan Adi Sasono, 1981). Surplus ekonomi yang dihasilkan oleh sistem ini, praktis tanpa menmggunakan modal pokok investasi yang berarti, karena modal pokok investasi adalah tenaga kerja petani (Frank, 1981). Tenaga kerja diperas dengan tingkat pendapatan riil yang semakin kecil sehingga kian menciutkan kapasitas petani pekerja untuk menjadi tenaga kerja produktif. Akhirnya kelas pekerja ini tidak memiliki kesempatan untuk semakin memperbaiki dirinya. Kebijakan menanaman komoditas ekspor bahan-bahan mentah ini, menjadikan proses pemenuhan terhadap kebutuhan bahan pokok semakin merosot. Pulau Jawa mengalami kemerosotanbahan makanan pokok, terutama sesudah pembukaan perkebunan-perkebunan besar dilaksanakan. Surplus ekspor (setelah dikurangi impor) sebagai hasil sistem tanam paksa tercatat berjumlah sebesar 781 guilden, selama periode 1840-1875 (Hatta, 1972). Setelah mendapat kecaman yang cukup keras dari berbagai kalangan di Belanda, maka pada tahun 1870 sistem ini dibubarkan. Namun, pemaksaan penanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung hingga tahun 1915. Sistem tanam paksa kemudian digantikan oleh sistem kapitalis liberal. Tidak ada yang berubah dalam dialetik hubungan ekonomi yang terbangun, jika dulu yang melakukan eksploitasi adalah pemerintah sekarang di gantikan pengusaha swasta, pemerintah hanya berperan sebagai penjaga dan pengawas jalannya sistem ekonomi melalui peraturan perundang-undangan.
Gb.1 - Skema dialektik hubungan ekonomi Indonesia di jaman Belanda
Kondisi upah buruh di Hindia Belanda sangatlah timpang. Seperti yang dikemukakan oleh Rofinus Tobing (1956) dalam makalahnya yang disampaikan pada pertemuan Kongres Ekonomi di Surabaya 5-10 Agustus 1956, bahwa taksiran distribusi pendapatan berbagai golongan pada tahun 1927, adalah sebagai berikut :
Golongan nilai nominal (dalam guilden)
Eropa (termasuk 450.000.000
Yang di repatriasi ke Belanda ) 750.000.000
Tionghoa dan Timur Asing lain 250.000.000
Inlanders ( pribumi) 1.500.000.000
Jumlah 2.5000.000.000
Eropa (termasuk 450.000.000
Yang di repatriasi ke Belanda ) 750.000.000
Tionghoa dan Timur Asing lain 250.000.000
Inlanders ( pribumi) 1.500.000.000
Jumlah 2.5000.000.000
Dengan melihat perbandingan jumlah penduduk tahun 1927 di pulau Jawa yang masing-masing 180.000 Eropa. 500.000 Tionghoa dan Timur Asing lain, dan Pribumi 36.000.000. maka pendapatan nasional untuk tiap golongan Eropa F1. 4167, Tionghoa dan Timur Asing lain F1. 500, dan Pribumi F1. 42 atau hanya 1 % dan 8,4 % dari pendapatan nasional orang Eropa dan Tionghoa. Ketimpangan distribusi pendapatan ini belum di tambah dengan tingkat pajak yang dibebankan kepada petani bertanah terutama di Jawa dan Madura yang berjumlah sekitar 40 % dari pendapatan kasarnya, setelah diperhitungkan pajak tanah (Hatta, 1972).
Ketimpangan dalam dialektik hubungan ekonomi menjadi salah satu pemicu bagi bangsa Indonesia untuk menuntut revolusi kemerdekaan. Revolusi ini baru merupakan tahapan awal untuk melakukan proses pembangunan ekonomi nasional dari belenggu model ekonomi kolonial, serta untuk melakukan koreksi total terhadap fundamental sosial- ekonomi. Demokrasi Terpimpin menandai proses pemerintahan yang pertama sesudah kemerdekaan. dan ada tiga komponen pokok yang harus dijalankan (1) diversifikasi produksi untuk menghilangkan ketergantungan atas ekspor bahan-bahan mentah primer, (2) perkembangan ekonomi dan kemakmuran yang merata, (3) pengalihan dominasi penguasaan usaha-usaha ekonomi dari tangan Asing dan golonga Cina ketangan Pribumi Indonesia (John O. Sutter, 1958; Nan L. Amstutz, 1959 ; John P. Meek, 1956). Dalam perjalanannya beberapa kabinet yang menjalankan proses restrukturisasi ekonomi tidak berjalan secara efektif dan tidak berkesinambungan, ini disebabkan, pertama di beberapa pemimpin politik, keyakinan terhadap ideologi kerakyatan dalam menjalankan restrukturisasi ekonomi sangat lemah, kedua banyak terjadi kolusi antara beberapa pemimpin politik dan golongan non- pribumi, dengan imbalan materi atau uang, ketiga keterjebakan para pemimpin politik dalam politik praktis, yang hanya mementingkan golongan atau partainya. Beberapa hal diatas juga ditambah terjadinya peristiwa GESTAPU tahun 1965.
Pemerintahan Orde Baru kemudian menggantikan kepemimpinan nasional. Kondisi perekonomian Indonesia tengah mengalami hiperinflasi pada tahun 1966 sebesar 650 %, tahun 1967 sebesar 120 %, dan turun pada tahun 1968 menjadi 85 %. Penurunan ini salah satunya di sebabkan oleh munculnya UU PMA, sehingga tingkat investasi asing meningkat, terutama dalam bentuk hutang pemerintah dan swasta. Di tingkat kebijakan Moneter, Fiskal, dan Perdaganga Luar Negeri diorientasikan untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Di bidang Moneter diupayakan kestabilan harga untuk merangsang tingkat investasi terutama tabungan masyarakat, investasi asing dan hutang. Kebijakan Fiskal didasarkan atas prinsip anggaran berimbang dala artian bahwa defisit ditutup dengan hutang luar negeri, dengan asumsi sebagai upaya efisiensi alokasi sumber-sumber ekonomi. Kebijakan-kebijakan ini justru semakin banyak menciptakan ketimpangan yang cukup besar, antara lain dalam kepemilikan dan penguasaan atas aset-aset ekonomi di sektor publik ataupun swasta, lebih banyak dikuasai oleh para konglomerat dengan dukungan modal asing dan hutang. Pada permulaan tahun 1970, golongan asing dan beberapa konglomerat Pribumi, menguasai 75 % investasi di sektor swasta dan kredit-kredit yang dikucurkan pemerintah pada sektor swasta (R. Soehoed,1972, 1974; Raja Pande sillalahi, 1974). Proses konglomerasi dan liberalisasi keuangan ini semakin diperkuat adanya KKN, atau dalam bahasa Revrisond Baswir disebut sebagai Kapitalisme Perkoncoan (kroni),. Hubungan simbiostis antara konglomerat dan pemodal asing dengan pemerintah ini, hanya menciptakan perputaran keuntungan pada koalisi kelompok tersebut. Yang terjadi adalah adanya trade off yang cukup besar antara pertumbuhan ekonomi tinggi dan pemerataan yang rendah, ditambah adanya proses penumpukan hutang oleh pemerintah dan swasta. Pasca jatuhnya pemerintahan Orde Baru, fokus kepemimpinan lebih banyak pada proses stabilisasi politik sedangkan di bidang ekonomi karena krisis Indonesia berbarengan dengan krisis dunia, maka tak cukup banyak kebijakan ekonomi yang berusaha untuk melakukan koreksi fundamental ekonomi nasional. Hal in dikarenakan masih dominannya para pemikir ( menteri dan pakar ekonomi) yang condong pada sistem ekonomi neo-liberal dengan slogan mekanisme pasar bebas ( globalisasi-red).
Ini berarti dalam ekonomi nasional di kita belum pernah dilakukan proses koreksi secara fundamental terhadap struktur ekonomi nasional, karena orientasi ekonomi dalam hubungan ekonomi antar aktor masih bersifat kapitalistik atau eksploitatif, sama dengan yang terjadi pada masa ekonomi kolonial. Yangb berubah hanyalah aktor-aktornya.
Substansi dan Urgensi Ekonomi Kerakyatan
Pada masa awal revolusi kemerdekaan sebenarnya sudah terumuskan konsep demokrasi ekonomi, yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 33, terutama bab penjelasan. Beberapa unsur pokok yang terkandung dalam landasan konstitusional ekonomi kerakyatan itu, oleh Revrisond Baswir di sebutkan, pertama adanya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional, kedua partisipasi seluruh anggota masyarakat utunk turut menikmati hasil produksi nasional, ketiga kegiatan pembentukan produksi nasional harus berlangsung dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Sehubungan dengan ini maka negara harus mengupayakan peningkatan kepemilikan modal material, intelektual maupun institusional. Dan ini tidak sama dengan sosialisme ala Uni Soviet. Proses sistematis untuk mendemokratiskan penguasaan modal atas faktor-faktor produksi inilah yang menjadi substansi ekonomi kerakyatan ( lihat, Dahl, 1992 ). Dan koperasi yang sejati banyak mengandung prinsip ini, karena dalam Koperasi tidak ada majikan ataupun buruh, semua adalah pekerja yang bekerja sama untuk menyelenggarakan keperluan bersama.
“Memang tidak semudah seperti membalik telapak tangan, dikarenakan kita terlanjur membiarkan hegemoni sistem kapitalisme-liberal dengan mekanisme pasar bebasnya, telah merongrong bangsa kita” ungkap Prof. Dr. Mubyarto. Selain itu juga telah terjadinya dominasi dalam Kementerian Kabinet Megawati yang pro pasar bebas terutama ke IMF.
Melihat sangat fundamentalnya persoalan perekonomian di kita, yang tidak mengharuskan kebijakan-kebijakan yang hanya bersifat parsial dan karikatif, maka semua elemen mayarakat harus bersatu untuk bangkit dari keterpurukan sistem ekonomi yang terbangun selama Orde Baru. Beberapa egenda memang harus di rumuskan oleh semua elemen bangsa, Revrisond Baswir, salah seorang Dosen Fakultas Ekonomi UGM, dalam diskusi dengan LPM MëMI mengemukakan beberapa agenda yang memang harus kita jalankan. Pertama, meningkatkan disiplin pengelolaan keuangan negara dengan tujuan utama untuk memerangi KKN dalam segala dimensi dan bentuknya, salah satunya dengan cara menghapuskan dana-dana non bujeter, hal ini dilakukan untuk mengetahui volume pendapatan dan belanja negara untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kedua penghapusan monopoli melalaui penyelenggaraan mekanisme persaingan yang berkeadilan (fair competition), oleh karenanya penerapan UU Anti Monopoli, yang didukung UU Perlindungan Konsumen, UU Perlindungan Usaha Kecil, UU Lingkungan Hidup, dll, harus dijalankan secara konsisten disertai partisipasi masyarakat untuk mengawasi dan mengontrol jalannya Undang-Undang ini. Ketiga, peningkatan alokas sumber-smber penerimaan negara kepada pemerinta daerah, ini dilakukan karena masih kuatnya sentralisme ekonomi pusat. Keempat, pembatasan penguasaan dan redistribusi kepemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap. Kelima, pembaharuan UU Koperasi dan pembentukan Koperasi sejati dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan, dan ini harus beda dengan “Koperasi Majikan” ala Orde Baru, yang keanggotaannya bersifat tertutup dan dibatasi pada segelintir pemilik modal kecil (Baswir, 2000).
Tanpa koreksi yang fudamental terhadap dialektik hubungan ekonomi dalam struktur ekonomi nasional beserta teori-teori yang mendukungnya, ditambah kebijakan ekonomi yang bersifat parsial dan karikatif. Maka, implikasi yang paling besar dari keterpurukan ekonomi nasional akan di tanggung oleh anak cucu kita. Sumber : www. google.com, Jurnal Ekonomi Rakyat. Oleh : Heri Kristanto – Lembaga Pers Mahasiswa FE UNSOED, Purwokerto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar